Purworejo, Jawa Tengah-pena Terbang
Dugaan praktik jalur khusus berbayar di Kantor Samsat Purworejo kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap pelayanan negara. Di tengah kampanye besar-besaran soal pelayanan tanpa pungli dan transparansi birokrasi, laporan warga justru mengindikasikan bahwa ruang pelayanan publik masih menjadi ladang subur bagi permainan "orang dalam".
Seorang warga Kecamatan Bayan, inisial R, membagikan pengalamannya saat membayar pajak tahunan sepeda motor Honda Beat pada 10 September 2025. Saat itu, ia belum sempat mengambil nomor antrean, namun sudah ditawari "jalur cepat" oleh seseorang yang diduga calo di dalam lingkungan Samsat.
“Langsung ditawari tanpa antre, asal bayar Rp300 ribu. Katanya semua langsung beres. Rasanya seperti dipaksa bayar kalau mau cepat dilayani. Padahal bukannya negara sudah bayar gaji dan tunjangan mereka dengan besar?” keluh R kepada wartawan.
Keterangan ini memicu pertanyaan serius di tengah masyarakat: bagaimana mungkin praktik semacam ini bisa terus berlangsung jika pengawasan benar-benar dijalankan? Apakah ada pembiaran dari pejabat yang seharusnya mengawasi proses pelayanan?
Dugaan adanya "jalur belakang" semacam ini tidak bisa dianggap remeh. Bukan sekadar soal pungli, tapi cerminan dari potensi sistem pelayanan yang dikendalikan oleh kepentingan oknum, bukan oleh aturan. Ketika rakyat harus membayar lebih untuk haknya sendiri, berarti negara sedang kalah oleh birokrasi internalnya.
Kantor Samsat sebagai representasi pelayanan negara semestinya menjadi contoh integritas. Namun jika dugaan ini benar, maka citra tersebut telah ternoda. Pelayanan yang mestinya setara untuk semua justru berubah menjadi ladang bisnis terselubung.
Pihak redaksi telah menyatakan akan segera mengirim permintaan konfirmasi resmi kepada Kasat Lantas Polres Purworejo, Kapolres Purworejo, Kapolda Jawa Tengah, serta jajaran Ditlantas Polda Jawa Tengah. Masyarakat tidak lagi menginginkan klarifikasi yang berhenti di meja konferensi pers—yang dibutuhkan adalah tindakan.
Kasus ini menjadi catatan kelam bahwa gaji besar dan tunjangan tidak otomatis menghadirkan integritas. Pelayanan yang bersih tak bisa berdiri di atas retorika. Butuh ketegasan aparat pengawas, dan keberanian pucuk pimpinan untuk membongkar mata rantai penyimpangan, dari yang paling bawah hingga paling atas.
Apakah hukum akan kembali tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Atau justru ini saatnya aparat menunjukkan bahwa hukum berlaku untuk semua?
Redaksi
